Jumat, Agustus 28, 2009

Buletin Ad Dakwah Edisi 39 : HAKIKAT SHAUM

Kaum muslimin rahimakumullah,
Alhamdulillah, dengan idzin Allah SWT kita telah memasuki bulan Ramadhan 1430H. Alhamdulillah kita diberi kesempatan oleh Allah SWT kembali beribadah di bulan penuh berkah ini. Sudah sepantasnya kita bersyukur dengan mengoptimalkan ibadah selama sebulan penuh, baik shaum Ramadhan sebagai ibadah utama, maupun qiyam ramadhan dan ibadah lainnya sebagai penunjang.

Namun sayang, tidak sedikit di antara kita yang lengah hingga tak mampu memetik banyak pahala dan kebajikan di bulan penuh pahala ini. Tidak sedikit di antara kita yang berada di garis minimal, tinggal melaksanakan shaum dan sholat tarawih saja. Bahkan tidak sedikit di antara kita yang berada di titik nol, yakni shaumnya pun sia-sia. Rasulullah saw. mensinyalir orang-orang seperti itu dalam sabdanya:
“Betapa banyak orang-orang yang bershaum balasannya adalah lapar dan haus dan betapa banyak orang yang mendirikan ibadah di malam Ramadhan balasannya hanyalah begadang” (HSR.Ibnu Khuzaimah). Na’udzu billahi min dzalik!

Kaum muslimin rahimakumullah,
Tentu kita ingin agar shaum kita berhasil mengantarkan kita kepada target melaksanakan shaum, yakni menjadi orang yang bertaqwa. Untuk itu, langkah awal yang perlu kita tempuh adalah menyadari dan memahami hakikat shaum, karakteristiknya, dan pengaruhnya dalam kehidupan kita sebagai kaum muslim.

Kaum muslimin rahimakumullah
Sebagaimana ibadah-ibadah khusus lainnya, shaum memiliki karakteristik tertentu, yaitu: Pertama, ibadah shaum bersifat tauqifiyah alias diterima apa adanya dari Allah SWT melaui Al Quran dan As Sunnah. Shaum wajib sebulan penuh itu hanya di bulan Ramadhan. Dikerjakan hanya dari terbit fajar sampai tenggelamnya matahari. Tidak diam “ngebleng’ di suatu tempat, tapi sambil shaum seorang muslim tetap melaksanakan aktivitas hidupnya secara normal dan lain sebagainya yang merupakan ketentuan Allah SWT.
Kedua, adanya kewajiban shaum tanpa ada illat atau sebab disyariatkannya shaum. Tapi semata perintah Allah (lihat QS. Al Baqarah 183,185). Sekalipun ada hadits yang menyebut hubungan shaum dengan kesehatan, tapi kewajiban shaum bukanlah lantaran demi menyehatkan tubuh manusia atau sebab lain.
Ketiga, shaum dilaksanakan hanya untuk Allah SWT semata, tidak untuk yang lain (lihat QS. Al Kahfi 110). Dalam hadits Qudsi Nabi bersabda: Allah SWT berfirman:
“Shaum itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya” (HR. Tirmidzi) .
Keempat, shaum diterima hanyalah manakala dikerjakan dengan ikhlas lilahi ta’ala. Shaum yang dilaksanakan tidak dengan niat ikhlas lilahi ta’ala tidak dihitung ibadah. Nabi saw. bersabda:
"Sesungguhnya amal-amalan ter-gantung dengan niat".
Juga, hadits yang diriwayat-kan dari Hafshah ra. Bahwa Nabi saw bersabda :
"Siapa saja yang tidak menyertakan niat shaum di malam harinya, maka tidak ada shaum baginya".
Kelima, shaum adalah ibadah yang langsung kepada Allah, tanpa perantara. Ketika seorang muslim berlapar-lapar dalam melaksanakan shaum, laparnya itu langsung dihubungkan dan diniatkan untuk Allah SWT. Dengan rasa lapar dan haus itulah dia sedang “online” dengan Allah SWT.

Kaum muslimin rahimakumullah,
Ibadah shaum sebagaimana ibadah-ibadah lainnya, apabila dikerjakan dengan ikhlas dan benar, insyaallah akan memberikan bekas pada diri pelaku-nya. Seorang muslim yang terlatih dengan shaum akan memiliki sifat lebih sabar, lebih jujur, dan lebih menjaga kesucian dirinya.
Untuk memahami lebih dalam dari efektivitas ibadah shaum pada kepribadian seorang muslim, maka perlu kita telaah kembali karakter kelima shaum, yakni ibadah yang langsung kepada Allah, tanpa perantara.

Ketika seorang muslim berlapar-lapar dalam melaksanakan shaum, laparnya itu langsung dihubungkan dan diniatkan untuk Allah SWT. Dengan rasa lapar dan haus itulah dia sedang “online” dengan Allah SWT.
Kesadaran hubungan langsung “online” dengan Allah SWT ini serta kesadaran bahwa dia adalah hamba Allah SWT yang wajib senantiasa taat kepada-Nya dalam situasi dan kondisi apapun sepanjang hayatnya inilah yang akan membuat seorang muslim bisa mengendalikan dirinya.

Kaum muslimin rahimakumullah
Saat bershaum seorang muslim melakukan “imsak”, yakni menahan diri dari makan, minum, berhubungan suami-istri, dan segala perkara yang membatalkannya. Makan, minum, berhubungan suami-istri diperbolehkan di malam bulan Ramadhan maupun di siang-malam bulan-bulan yang lain. Namun di saat shaum, seorang muslim menahan diri dari perkara itu hanya karena Allah. Dalam Hadits Qudsi riwayat Abu Harairah r.a. bahwa Nabi bersabda: Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya dia (shaum) itu untuk-Ku, dan Aku akan membalasnya. Dia (anak Adam) meninggalkan syahwat dan makanannya karena-Ku” (HR. Muslim).

Bilamana perkara yang asal-nya halal saja bisa ditinggalkan oleh seorang muslim lantaran ketaatannya kepada Allah, apalagi perkara yang asalnya me-mang diharamkan oleh Allah SWT.

Kaum muslimin rahimakumullah,
Shaum sebagai ibadah khusus yang bisa dijalankan bersamaan dengan aktivitas-aktivitas lainnya pada hakikatnya membangkitkan dan memelihara kesadaran hubungan kita dengan Allah SWT. Bila kita hendak minum atau makan di siang hari di bulan Ramadhan, maka kita sadar bahwa kita sedang shaum, bahwa Allah pasti mengawasi kita, dan bahwa Allah pasti mengetahui bahwa kita sendiri yang membatalkan shaum kita.

Bila hendak melakukan suatu bentuk maksiat, kita sadar bahwa kita sedang shaum, bahwa Allah SWT pasti mengawasi kita, bahwa Allah pasti mengetahui bahwa kita sendiri yang membatalkan pahala shaum kita dengan pelanggaran kepada hukum Allah SWT itu. Shaum melatih kita untuk menyadari apa hakikat dan akibat suatu perbuatan yang akan kita lakukan. Kata pepatah: “Pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tiada berguna”.
Saum melatih kita untuk senantiasa menyadari dan merasakan firman Allah SWT:
“Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al Hadid 4).

Kaum muslimin rahimakumullah
Dan kesadaran itu akan mengendalikan diri kita agar senantiasa berjalan di rel syariah yang benar. Di dalam sebuah hadits Nabi saw. menyatakan:
“Seorang pezina tidak akan berzina, jika saat berzina ia dalam keadaan mukmin, tidaklah seseorang akan meminum khamer jika saat meminumnya ia dalam keadaan mukmin, tidaklah seseorang akan mencuri jika saat mencuri itu ia dalam keadaan mukmin, dan tidaklah seseorang akan merampas sesuatu yang menyenangkan pandangannya jika saat merampas itu ia dalam keadaan mukmin” (HR. Bukhari)

Semoga shaum kita menghasilkan kesadaran kita akan hubungan kepada Allah SWT setiap saat.
Baarakallahu lii walakum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar