Rabu, Juni 17, 2009

Hendri Saparini, Ph.D : Boediono Arsitek Kehancuran Ekonomi Indonesia

Sejak terlibat dalam pengucuran dana BLBI yang kontroversial sebesar Rp 150 triliun tahun 1998 lalu (sekarang menjadi Rp 700 triliun), boleh dikatakan Boediono telah menjadi salah seorang tokoh penghancur ekonomi rakyat Indonesia. Namun anehnya, tokoh semacam Boediono seorang ekonom neoliberal fanatik, malah diberi kesempatan Presiden SBY untuk mengelola perekonomian nasional dengan menjadi Menko Perekonomian dan Gubernur Bank Indonesia. Bahkan sekarang SBY memilihnya sebagai cawapres untuk mendampinginya. Tidak dapat dibayangkan nasib ekonomi rakyat Indonesia jika SBY-Boediono memimpin negara ini lima tahun kedepan.

Berikut ini wawancara Abdul Halim dari Tabloid Suara Islam dengan Direktur Econit, Dr Hendri Saparini, seputar tanggungjawab cawapres Boediono dalam menghancurkan ekonomi Indonesia, dimana saat ini sudah harus menanggung utang luar negeri sebesar Rp 1667 triliun atau naik Rp 445 triliun selama hampir 5 tahun pemerintahan SBY. Dengan demikian, setiap rakyat Indonesia harus menanggung utang Rp 8 juta termasuk anak yang baru lahir sekalipun, sementara kemiskinan dan pengangguran semakin menghawatirkan.

Mengapa ekonomi neoliberal tidak tepat untuk mengelola ekonomi Indonesia ?

Kebijakan ekonomi neoliberal didasarkan pada paket kebijakan Washington Consensus yang dimaksudkan untuk menguasai perekonomian negara berkembang termasuk Indonesia. Paket kebijakan Washington Consensus meliputi:
Pertama, pengurangan subsidi pemerintah kepada rakyat, sehingga menghapuskan kebijakan subsidi seperti subsidi BBM, kesehatan, pendidikan dan sebagainya.

Kedua, liberalisasi sektor keuangan, industri dan perdagangan. Hal itu merupakan intervensi negara maju terhadap negara berkembang. Sebagai dampaknya adalah masuknya retail raksasa seperti Carefour dan Wall Mart ke pasaran retail Indonesia sehingga menggeser perdagangan tradisionil dan membunuh usaha kecil dan mikro. Rakyat tidak mengetahui kalau tiba-tiba usaha kecilnya gulung tikar. Padahal itu disebabkan masuknya retail raksasa sebagai dampak dari kebijakan ekonomi neoliberal.

Padahal Carefour dan Wall Mart di Eropa dan AS hanya boleh berlokasi di pinggiran kota, sehingga tidak mematikan usaha kecil dan mikro. Bukan di dalam kota seperti Indonesia yang akhirnya membangkrutkan pasar tradisionil. Selain itu market share (bagian pasarnya) juga dibatasi. Kalau di Jepang market sharenya maksimal 1 persen, Korsel 3 persen, sedangkan Indonesia bisa mencapai 11 persen, sehingga perlu adanya perubahan UU.

Ketiga, privatisasi, seperti penjualan BUMN dan berbagai aset strategis milik pemerintah kepada swasta. AS, World Bank dan IMF selalu mendorong pemerintah Indonesia agar menjual BUMN dengan dalih tidak efisien dan menjadi sarang koruptor. Padahal kalau menjadi sarang koruptor, bukan berarti solusinya harus dijual kepada asing. Pihak asing berharap akan membeli dan akhirnya menguasainya.

Negara tetangga seperti Singapura, 75 persen kegiatan ekonominya dikuasai BUMN seperti Singapore Airlines dan Tamasek Holding. Bahkan negara-negara di Asia tidak ada yang menerapkan ekonomi neoliberal dengan privatisasi. Saya kira masyarakat Indonesia dengan tegas menolak kebijakan neoliberal. Jadi bukan karena sosok Boediono, tetapi kebijakan ekonomi neoliberal yang selama ini dijalankan Boediono yang membuka pasar bagi retail asing sehingga membangkrutkan pengusaha kecil dan mikro.

Selain itu Boediono juga harus bertanggungjawab atas beban utang luar negeri yang mencapai Rp 1667 triliun. Sehingga anggaran pemerintah untuk membayar utang jauh lebih besar daripada untuk pembangunan jembatan, rumah sakit, jalan raya dan sebagainya. Memang secara pribadi Boediono santun, tetapi tidak santun secara politik dan kebijakan ekonomi sehingga merugikan masyarakat luas.

Apakah Washington Consensus merupakan konspirasi Yahudi internasional untuk menguasai dunia ?

IMF dan World Bank, pemegang saham terbesarnya adalah negara-negara maju seperti AS. Padahal AS mengusung kepentingan kelompok Yahudi dunia. Upaya untuk menguasai perekonomian dunia dilakukan secara bersama-sama oleh AS dan didukung lembaga keuangan internasional seperti IMF dan World Bank.

Jika terpilih kembali, apakah SBY-Boediono akan melanjutkan paradigma ekonomi liberal ?

Pasangan yang mudah diprediksi arah ekonominya adalah pasangan SBY Boediono. Sejak masa kampanye legislatif partai Demokrat yang identik dengan SBY bahkan sangat terkenal dengan kampanye ‘lanjutkan’. Dipastikan SBY akan melanjutkan paradigma ekonomi liberal saat ini yang diklaim telah memberikan kinerja yang baik. Apalagi dengan pilihnya Gubernur Bank Indonesia Boediono sebagai cawapresnya. Warna kebijakan ekonomi Boediono sudah sangat jelas, yakni liberal dan sejalan dengan model konservatif IMF/Bank Dunia.

Mengapa anda berani mengatakan kebijakan ekonomi SBY-Boediono jika terpilih dapat dipastikan neoliberal ?

Pada era pemerintah Megawati, Boediono tanpa banyak pemberitaan, telah memperpanjang kontrak Indonesia dengan IMF. Meskipun Sidang Umum MPR mengamanatkan pemerintah untuk mengakhiri kontrak dengan IMF pada tahun 2003, Boediono sebagai Menteri Keuangan mengusulkan untuk memperpanjang kontrak lewat Post Program Monitoring (PPM). Lahirnya berbagai undang-undang yang liberal dan kebijakan menjual berbagai BUMN strategis juga terjadi saat Boediono menjabat sebagai Menteri Keuangan pemerintahan Megawati.

Tidak heran bila liberalisasi ekonomi baik di sektor perdagangan, industri maupun investasi terus berlanjut hingga masa pemerintahan SBY. Pembukaan ekspor rotan, pupuk dan lain-lain semakin kencang terjadi para era ini. Disiplin anggaran, sebagai kebijakan pendamping liberalisasi, juga semakin tegas saat Boediono menjabat sebagai Menko Perekonomian pemerintahan SBY. Salah satu contoh disiplin anggaran adalah prioritas penghapusan berbagai subsidi. Terlalu panjang daftar pilihan kebijakan yang didasari oleh paradigma ekonomi yang telah lama melekat pada Boediono. Jelas bahwa dipilihnya Boediono semakin menegaskan bahwa SBY memilih untuk melanjutkan liberalisasi dan terus mengurangi peran pemerintah.

Bagaimana sesungguhnya paket kebijakan ekonomi neoliberal yang akan diterapkan Boediono nantinya ?

Paket ekonomi neoliberal untuk negara berkembang, yang dikenal dengan Konsensus Washington dirancang pada pertemuan IMF, Bank Dunia dan US Treasury pada tahun 1989. Secara garis besar kebijakan ekonomi neoliberal memiliki agenda yang sangat mudah diidentifikasi, yang meliputi: pertama, stabilitas makro dan disiplin anggaran dengan memprioritaskan pemangkasan berbagai subsidi; kedua, liberalisasi perdagangan, industri dan investasi serta; ketiga, privatisasi.

Dengan mendasarkan pada ciri-ciri tersebut di atas, terbukti rekam jejak Boediono sejalan ekonomi neoliberal. Saat menjabat Menteri Keuangan era Megawati, Boediono hanya memprioritaskan pada stabilitas makro dengan menghilangkan hambatan masuk dan suku bunga tinggi agar menarik dana asing. Stabilitas makro memang terjadi, tetapi tidak menggerakkan sektor riil sehingga harus dibayar dengan tingkat pengangguran yang tinggi. Boediono juga melakukan agenda privatisasi berbagai BUMN strategis serta membuat berbagai undang-undang liberal yang tidak memprioritaskan pada kepentingan nasional seperti UU Migas, UU Kelistrikan serta UU Air.

Memang liberalisasi tersebut bukan merupakan hasil kerja Boediono sendiri, tetapi paradigma neoliberal Boediono telah menjamin liberalisasi terus berlanjut. Terbukti saat Boediono menjabat Menko Perekonomian era SBY, liberalisasi perdagangan dan investasi semakin kencang seperti: pembebasan ekspor rotan, liberalisasi sektor ritel dan lain-lain, termasuk disusunnya UU Penanaman Modal.

Demikian juga disiplin anggaran, yang berarti penghapusan subsidi, terus dilanjutkan lewat terbitnya UU Badan Hukum Pendidikan dan kenaikan harga BBM hingga berkali-kali. Meskupin harga BBM kemudian diturunkan mengikuti harga minyak mentah dunia, bukan karena dikembalikannya subsidi BBM utuk rakyat.

Apakah selama ini Boediono memang dikenal sebagai antek IMF dan World Bank ?

Boediono memang pendukung utang sehingga mengusulkan perpanjangan kontrak dengan IMF lewat Post Program Monitoring. Padahal SU MPR menetapkan untuk mengakhiri kontrak dengan IMF tahun 2003. Bukti lainnya, penawaran moratorium pun ditolak. Padahal utang penuh dengan persyaratan yang menggadaikan kedaulatan ekonomi lewat pemaksaan berbagai UU yang liberal. Tidak mengherankan dalam empat tahun era SBY, utang membengkak lebih dari Rp 400 triliun.

Mengapa mayoritas rakyat menolak Boediono sebagai pendamping SBY ?

Pernyataan SBY bahwa masyarakat tidak faham tentang neoliberal adalah tidak benar. Mungkin istilah neoliberal masih asing bagi masyarakat awam, tetapi they do understand bahwa Indonesia tidak akan bangkit bila mempertahankan garis ekonomi saat ini. Para analis juga do understand tentang agenda neoliberal dan dampak negatifnya bagi ekonomi Indonesia. Penolakan masyarakat terhadap Boediono adalah penolakan terhadap ekonomi neoliberal. Tiga pilar neoliberal, yaitu stabilitas makro, agenda liberalisasi, dan agenda privatisasi, yang dicetuskan dalam Washington Consensus menjiwai berbagai tindakan Boediono selama ini.

Seorang penganut neoliberal tak akan meninggalkannya sedikit pun. Dalam pilar pertama, seorang neoliberal akan membuat kebijakan hanya demi stabilitas makro. Berbagai pernyataan SBY selama ini menunjukkan ciri itu. Pilihan kebijakannya pun demikian. Mazhab ini mengharuskan pengambilan kebijakan pengurangan atau pemotongan subsidi. Maka tidaklah salah jika dalam pidato, SBY mengatakan akan menekan inflasi dan ukuran stabilitas makro. Itu hanya akan menguntungkan kelompok kapitalis.

Belum lagi agenda liberalisasi dan privatisasi yang dilakukan oleh Boediono ketika menjabat sebagai Menkeu dalam masa pemerintahan Megawati dan Menko Ekuin dalam pemerintahan SBY. Misalnya, dalam penyusunan UU Migas. Pemerintahan SBY juga marak melakukan privatisasi. Bahkan, saat ini 40 Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sudah didata untuk diprivatisasi, antara lain PT Krakatau Steel dan PT Kereta Api Indonesia (KAI).

Memang Boediono seorang ekonom neoliberal tulen ?

Semua itu harus dilihat dari track recordnya. Sebab kalau hanya pengakuan seseorang neoliberal atau bukan, tidak dapat dijadikan dasar mengatakannya sebagai neoliberal atau bukan. Kalau dilihat dari track recordnya selama ini sejak menjadi Menkeu di era Megawati, Boediono jelas seorang neoliberal tulen.

Terbukti SU MPR 2003 mengamanatkan agar Indonesia menghentikan kontrak dengan IMF, tetapi dengan sengaja Boediono malah mengganti LoI dengan Post Program Monitoring (PPM). Boediono juga bertanggungjawab membuat liberalisasi, privatisasi dan pencabutan subsidi hingga sekarang, termasuk UU pro asing dan liberal seperti UU Penanaman Modal Asing di era SBY. Pada era Megawati, sebagai Menkeu Boediono menyetujui penjualan Indosat, UU Migas dan UU Kelistrikan. Bahkan di awal reformasi tahun 1998, Boediono menandatanggani BLBI yang sampai sekarang tidak pernah dibayar, padahal nilainya ratusan triliun rupiah. Boediono menjadi pengusung agenda neoliberal yang sama persis dengan agenda Washington Consencus.

Jadi Boediono menjadi salah satu arsitek kehancuran perekonomian Indonesia ?

Keterlibatan Boediono mulai dari BLBI yang kontroversial sampai sekarang dengan kebijakannya yang pro asing, memang dialah salah satu arsitek yang luar biasa. Siapapun presidennya, kebijakan ekonomi neoliberal akan tetap dipertahankan Boediono.

Apakah dipilihnya Boediono oleh SBY sebagai akibat tekanan asing ?

Pemilihan Boediono sebenarnya sebuah penegasan dari SBY kalau dirinya pendukung kuat neoliberal. Kalau semula SBY masih malu-malu mengakui sebagai neoliberal karena partainya kecil, sekarang setelah PD menjadi besar SBY secara terang-terangan mengakui kalau dirinya pendukung neoliberal. SBY berani melakukan spekulasi tinggi untuk meyakinkan para kreditor dan kepentingan asing, tidak akan ada perubahan kebijakan ekonomi nasional, sehingga kreditor silahkan terus memberikan utang kepada Indoensia. Maka tidaklah mengherankan jika baru-baru ini ADB menjamin akan memberikan utang lagi kepada Indonesia. Kalau sebelumnnya ekonom neoliberal paling tinggi diangkat sebagai menteri atau menko, tetapi sekarang naik pangkatnya menjadi cawapres, dimana semuanya itu demi kepentingan asing.

Mengapa selama ini pemerintah Indonesia termasuk SBY selalu tunduk pada kepentingan asing ?
Ini masalah paradigma, karena kepentingan asing akan berusaha menjamin agar tim ekonomi SBY menjadi kepanjangan tangan kepentingan asing. Menteri perekonomian harus selalu sejalan dengan IMF dan World Bank. Selama kelompok pro IMF dan World Bank yang memegang perekonomian, tidak akan mungkin ada perubahan kebijakan perekonomian Indonesia.

Apakah pemilihan Boediono sebagai cawapres SBY akan sangat berbahaya bagi masa depan perekonomian Indonesia ?

Jika Indonesia ingin mengkoreksi ekonominya dan pembangunan ekonomi menuju kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia bukannya menimbulkan kesenjangan, kemiskinan dan ketergantungan, maka harus dipilih pasangan capres dan cawapres yang tidak membawa agenda neoliberal.

Dengan hutang luar negeri mencapai Rp 1667 triliun, apakah mungkin dilakukan moratorium utang seperti yang ditempuh Argentina dan negara Amerika Latin lainnya ?

Sangat mungkin ! Moratorium adalah penghentian utang. Tidak hanya penghentian untuk membuat utang baru, tetapi juga diusahakan pengurangan stok utang yang jumlahnya sudah sedemikian besarnya dan bisa dilakukan dengan cara konversi utang, penghentian pembayaran utang sementara, atau penghapusan utang. PBB sendiri sudah memberikan peluang bagi negara-negara pengutang untuk mengajukan penghapusan utang-utang yang tidak legitimate, sehingga penghapusan utang sangatlah mungkin.

Jadi yang harus dilakukan rakyat Indonesia adalah memilih pemimpin yang tidak pro terhadap penciptaan utang baru, tetapi yang menganggap beban utang harus segera dikurangi. Setelah kita memilih pemimpin yang tepat, harus segera diusahakan untuk melobi kreditor untuk konversi atau moratorium utang dengan cara menyusun proposal mengenai jumlah orang miskin di Indonesia. Kalau utang tidak dihentikan dan beban pembayaran utang dalam APBN tidak dikurangi, maka tidak akan dapat menyelesaikan dua masalah besar tersebut.

Apakah ekonomi neoliberal bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945 ?

Jelas bertentangan ! Pada pasal 33 ayat 1 disebutkan perekonomian harus dilakukan secara bersama. Berarti setiap rakyat Indonesia harus mendapatkan kesempatan untuk ikut menciptakan kue ekonomi. Seluruh rakyat Indonesia harus berkesempatan menikmati kue ekonomi. Jadi tidak ada konsentrasi kue ekonomi hanya pada sekelompok orang seperti pada kebijakan neoliberal yang kapitalis sekarang ini.

Sedangkan ayat 2 dan 3 menyatakan bumi, air dan berbagai barang tambang di dalamnya harus dikuasai negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Artinya tidak ada liberalisasi di sektor Migas, dimana tambang gas dikuasai asing. Jadi kalau dikatakan para pengusung ekonomi neoliberal sesuai dengan konstitusi, jelas sangat berbeda.

Mengapa pendidikan di FE PT di Indonesia selalu mengajarkan ekonomi liberalistik dan kapitalistik. Bagaimana agar para alumninya tidak berpola fikir ekonom neoliberal kapitalis ?

Memang sangat sedikit ekonom yang tidak menyetujui neoliberal. Kalau sekarang berbicara ekonomi neoliberal secara luas, karena terkait dengan pilpres. Saya dan Tim Indonesia Bangkit sejak 1990-an sudah mengangkat isyu ini. Sedangkan di Amerika Latin, sejak 1970-an sudah merasakan kerusakan ekonomi akibat kebijakan ekonomi neoliberal. Maka kesadaran itu tidak hanya pada segelintir elite seperti di Indonesia, tetapi sudah menjadi kesadaran masyarakat disana. Maka tidaklah mengherankan jika muncul Hugo Chaves di Venezuela dan Evo Morales di Bolivia serta para pemimpin Amerika Latin lainnya. Karena masyarakat menganggap inilah para pemimpin yang mampu merubah kebijakan ekonomi. Sedangkan di Indonesia baru segelintir orang dan masyarakat mulai terbuka, ternyata ada sesuatu yang salah.

Kalau sistim ekonomi neoliberal ternyata menimbulkan kerusakan luas di Indonesia, maka menurut anda sebaiknya negara ini dikelola dengan sistim ekonomi yang bagaimana ?

Selama ini tidak banyak orang yang tahu, sebenarnya ada ekonomi Islam yang mengatur kesemuanya.Untuk sampai pada pemikiran itu, jangankan sampai pada pemikiran ekonomi Islam, untuk mengatakan bahwa sistim ekonomi sekarang salah, sangatlah sulit. Menurut saya masih panjang jalan untuk membawa kepada tatanan ekonomi Islam. Untuk membawa kembali kepada konstitusi yang beberapa pointnya sejalan dengan ekonomi Islam saja masih mendapat penolakan sangat besar. Sebab kita sudah puluhan mengatur ekonomi secara liberal.

Kita yakin ada tatanan ekonomi yang jauh lebih baik dari segala tatanan ekonomi manapun yang selama ini kita kenal, yakni ekonomi Islam. Tidak ada pilihan lain perekonomian Indonesia harus dikelola secara ekonomi Islam, meski jalan untuk menuju kesana masih sangat panjang.(Lim)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar