Senin, Februari 09, 2009

KH. Cholil Ridwan : Istisyhâd Bukan Bunuh Diri


Thursday, 05 February 2009
Pengasuh: KH. A. Cholil Ridwan, Lc (Ketua MUI Pusat)

Assalamu’alaikum wr wb Menghadapi agresi Israel sejak 27 Desember lalu hingga kini, wakil ketua biro politik Hamas Musa Abu Marzuq menyatakan aksi bom bunuh diri menjadi bagian dari perlawanan muslim Palestina (Koran Tempo, 2/1/09). Bukankah bunuh diri dilarang agama Islam, Pak Kiyai? Tolong jelaskan. Terima kasih.

Wassalamu’alaikum wr wb

Nanang, Padang HP. 0813637xxxxx

Waalaikum salam wr wb Sdr Nanang, aksi yang dilakukan anggota ninja yang tertawan musuh dengan menelan pil racun atau menggigit lidahnya sendiri sampai mati, disepakati para fuqaha sebagai bentuk bunuh diri (intihâr). Tindakan ini haram hukumnya dilakukan seorang muslim, sebagaimana wasiat Nabi Saw:

‘’Pernah ada kasus menimpa orang sebelum kalian; ada seseorang yang terluka, lalu mengambil sebilah pisau, kemudian dia gunakan untuk melukai tubuhnya hingga darahnya pun tidak mau berhenti, sampai akhirnya dia pun mati. Allah berfirman: Hamba-Ku telah bergegas menemui-Ku karena ulahnya, maka Aku pun mengharamkan surga untuknya’’ (HR Bukhari).

Beda halnya dengan pejuang Palestina yang mengenakan rompi penuh bom lalu meledakkan diri di tengah kerumunan tentara Israel. Aksi ini disebut istisyhâd. Yaitu aksi menghadapi musuh dengan ‘’mempertaruhkan’’ diri hingga terbunuh.

Istisyhâd dibenarkan, dengan catatan sasarannya bukan kaum Muslim, atau tempat berkumpulnya kebanyakan orang Muslim seperti pasar, masjid, dan sebagainya, meskipun di situ ada musuh. Sebab, meninggalnya satu nyawa seorang Muslim masih lebih ringan bagi Allah ketimbang hilangnya seluruh dunia. Demikian wasiat Nabi saw.

Selain itu, istisyhâd tidak boleh menargetkan ahli dzimmah (Yahudi, Nasrani, atau orang musyrik yang hidup dalam naungan Negara Islam). Nabi Saw berpesan: ‘’Siapa saja yang menganiaya ahli dzimmah, maka sungguh akulah yang akan menjadi penuntutnya.

’’ Bahkan meskipun ‘’tidak rasional’’ menurut kalkulasi militer, istisyhâd tetap dinilai sebagai jihad. Al-Qurthubi (al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, II/364) mengutip Muhammad al-Hasan yang berkata, “Kalaupun ada seorang (mujahid) berperang menghadapi 1000 musuh kaum musyrik, sementara dia seorang diri, itu tidak masalah jika memang dia berambisi untuk meraih kemenangan atau menjadi tekanan bagi pihak musuh.

” Beliau melanjutkan, “Jika aksi itu ada manfaatnya bagi kaum Muslim, lalu dirinya binasa demi kemuliaan agama Allah, serta menjatuhkan mental kaum kafir, maka hal itu merupakan kedudukan yang mulia.

” Dalam sebuah hadits riwayat Imam Bukhari disebutkan, dalam sebuah pasukan Islam yang menyerbu musuh terdapat pemuda Ghulam. Ia begitu piawai berperang, sehingga musuh-musuhnya kesulitan membunuhnya meskipun banyak peluang buat mereka. Si pemuda kemudian menunjukkan pada musuh, bagaimana cara efektif untuk membunuh dirinya.

Benar saja, ketika mendapat kesempatan untuk itu, musuh akhirnya berhasil menewaskan pemuda itu. Dia syahid, dan pengorbanannya membuat musuh yang terkesima berbondong-bondong masuk Islam dengan mengatakan, “Kami beriman kepada Rabb (Tuhan)-nya pemuda ini.”

Di zaman Rasulullah, ada kisah kepahlawanan Anas bin Nadhar dalam peristiwa Perang Uhud. Saat itu Anas mengamuk sendirian melabrak musuh, setelah mendengar kabar burung bahwa Rasulullah wafat. Anas gugur, dengan jasad penuh luka sehingga sulit dikenali kecuali oleh sudara perempuannya. Kepahlawanan beliau ini diukir dalam al-Quran:

Di antara orang-orang Mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Lalu di antara mereka ada yang gugur dan ada (pula) di antara mereka yang menunggu-nunggu.” (QS al-Ahzab [33]: 23).

Dalam Perang Yamamah, Bara bin Malik diusung kawan-kawannya ke atas tameng yang disangga dengan ujung-ujung tombak. Lalu tubuhnya dilemparkan hingga meloncati benteng musuh. Di dalam benteng dia dibantai lawan, namun sebelum itu aksinya mampu menjebol pintu gerbang benteng. Tidak seorangpun sahabat menyalahkan keenkadan Bara bin Malik. Kisah ini dimuat dalam Sunan Al-Baihaqi, As-Sayru Bab At-Tabarru’ Bit-Ta’rudhi Lilqatli (9/44), tafsir Al-Qurthubi (2/364), Asaddul Ghaabah (1/206), dan Tarikh Thabari.

Hal serupa dilakukan Salamah bin Al-’Akwa, Al-Ahram Al-Asadi, dan Abu Qatadah ketika menghadapi pasukan Uyainah bin Hishn. Keberanian mereka menerobos musuh membuat pasukan Islam akhirnya memenangi pertempuran. Mereka syahid. Rasulullah memuji mereka dengan mengatakan, “Pasukan infantri terbaik hari ini adalah Salamah” (HR Bukhari-Muslim).

Mengomentari kisah ini, Ibnu Nuhas berkata: ‘’Dalam hadits ini telah teguh tentang bolehnya seorang diri berjibaku ke arah pasukan tempur dengan bilangan yang besar, sekalipun dia memiliki keyakinan kuat bahwa dirinya akan terbunuh.Tidak mengapa dilakukan jikan dia ikhlas melakukannya demi memperoleh kesyahidan sebagaimana dilakukan oleh Salamah bin Al-’Akwa, dan Al-Akhram Al-Asaddi. Nabi Saw tidak mencela, Sahabat ra tidak pula menyalahkan operasi tersebut. Bahkan di dalam hadits tersebut menunjukkan bahwa operasi seperti itu adalah disukai, juga merupakan keutamaan’’ (Masyari’ul Asywaq 1/540).

Masih banyak sahabat yang mengorbankan diri serupa itu, misalnya Hisyam bin Amar Al-Anshari, Abu Hadrad Al-Aslami dan dua rekannya, Abdullah bin Hanzhalah Al-Ghusail, dan lain-lain.

Aksi syahid, sebenarnya juga sudah biasa dilakukan rakyat Indonesia dalam melakukan perlawanan terhadap penjajah. Di Surabaya, anak buah Bung Tomo juga gagah berani memanjat gedung hotel untuk memerosotkan bendera Belanda dan menggantikannya dengan Merah Putih. Padahal, saat itu konvoi pasukan udara Sekutu meraung-raung di langit Surabaya dan mengebomi warga setempat.

Sedangkan rakyat Aceh sangat menghayati Hikayat Perang Sabil, yang berisi ajakan dan anjuran berperang melawan pasukan penjajah kaphe (kafir). (mj/www.suara-islam.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar