Sabtu, Februari 14, 2009

SOSIALISASI FATWA GOLPUT

Thursday, 12 February 2009

Sebagaimana kita ikuti dalam berbagai berita dan talkshow di media massa, telah terjadi wacana dan perdebatan atas fatwa MUI tentang tidak memilih di dalam Pemilu alias Golput. Satu hal yang perlu kita cermati dalam berbagai wacana dan perdebatan tersebut adalah adanya pembiasan informasi atau mungkin kesalahan komunikasi sehingga umumnya publik menangkap bahwa seolah-olah MUI mengeluarkan fatwa Golput Haram secara mutlak.

Padahal, isi fatwa tersebut tidaklah demikian. Oleh karena itu, perlu sosialisasi fatwa MUI tersebut secara langsung oleh para ulama dan para muballigh dan siapa saja yang masih ingin berpegang teguh kepada agama Allah dalam menjalani kehidupannya.

Pertama, poin empat dari fatwa tersebut berbunyi: Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan memperjuangan kepentingan umat Islam, hukumnya adalah wajib.

Poin ini justru tidak terekspos dengan baik di media massa sehingga tidak menjadi opini umum yang ditangkap oleh publik. Padahal poin inilah yang justru diperlukan umat sebagai petunjuk untuk memilih calon presiden (calon Imam/kepala negara) dan calon wakil rakyat.

Artinya, menurut fatwa MUI tersebut, umat Islam dalam pemilu nanti wajib memilih calon Imam dan wakil rakyat yang memiliki karakteristik: beriman dan bertaqwa, jujur, terpercaya, aktif dan aspiratif, mempunyai kemampuan, dan memperjuangkan kepentingan umat Islam.

Dalam pandangan syariat Islam, melaksanakan hukum wajib berarti pelakunya dipuji dan diberi ganjaran pahala oleh Allah SWT. Sebaliknya, yang tidak melaksanakan kewajiban itu tercela, berdosa, dan akan mendapatkan balasan siksa Allah SWT. Na’udzubillahi mindzalik!

Oleh karena itu, poin mewajibkan umat Islam memilih calon Imam dan wakil rakyat dengan kriteria di atas itu tidaklah main-main. Tentu harus dengan dasar yang kuat. Dalam fatwa MUI tersebut disebutkan antara lain dasar penetapan fatwanya dengan firman Allah SWT:

”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS. An Nisa 59).

Perintah Allah SWT mewajibkan kita taat kepada Ulil Amri dalam ayat di atas mengandung pengertian kewajiban untuk mengangkat ulil amri yang wajib ditaati itu. Sebab, kalau mengangkat ulil amri tidak wajib, maka keberadaan ulil amri itu tidak wajib pula. Dan bila ulil amri itu tidak wajib adanya, artinya bila boleh saja umat Islam tidak punya ulil amri, maka perintah Allah yang mewajibkan taat kepada ulil amri menjadi tidak bisa diamalkan. Ini tentu tidak bisa dibenarkan.

Oleh karena itu, dipastikan bahwa umat Islam wajib memilih atau mengangkat ulil amri yang bertugas dan bertanggung jawab mengurus urusan kaum muslimin. Dan ulil amri yang diangkat kaum muslimin itu wajib menerapkan hukum syariah dengan standar kebenaran Al Quran dan Sunnah Rasulullah saw. sehingga bilamana dalam pelaksanaan hukum Allah SWT dalam pemerintahannya ada perselisihan antara ulil amri dengan rakyat, maka diselesaikan di depan mahkamah yang akan mengatasi persoalan dengan merujuk kepada petunjuk Allah dan Rasul-Nya yang ada dalam Al Quran dan Sunnah.

Ulil Amri yang wajib dipilih dan diangkat oleh kaum muslimin adalah ulil Amri yang beriman dan bertqwa, yakni yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya dalam pemerintahannya. Oleh karena itu, tepat sekali Ijtima Ulama MUI di Padang Panjang mencantumkan -sebagai dasar penetapan fatwa- pernyataan Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Umar pada saat pengangkatan mereka sebagai Khalifah yang berkuasa atas kaum muslimin.

Khalifah Abu Bakar r.a. berkata: “Wahai sekalian manusia, jika aku dalam kebaikan maka bantulah aku, dan jika aku buruk maka ingatkanlah aku... taatilah aku selagi aku menyuruh kalian taat kepada Allah, dan jika memerintahkan kemaksiatan maka jangan taati aku”. Pidato Khalifah Umar r.a.:“Barangsiapa diantara kalian melihat aku dalam ketidaklurusan, maka luruskanlah aku…”.

Kedua, butir lima dari fatwa MUI tersebut adalah: Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 4 (empat) atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat, hukumnya adalah haram.

Butir ini juga tidak terkomunikasi dengan baik melalui media massa. Seolah-olah di media massa diopinikan bahwa tidak memilih alias golput secara mutlak adalah haram. Padahal yang diharamkan dalam butir ini adalah bila tidak memilih sama sekali alias golput padahal ada calon yang memenuhi syarat-syarat nomor empat yang sudah diterangkan di atas. Lebih dari itu, justru yang diharamkan bagi setiap muslim adalah memilih calon Imam dan wakil rakyat yang tidak memenuhi kriteria dalam poin empat di atas.

Jadi dalam pemilu legislatif maupun pilpres nanti setiap muslim yang dirinya masih punya iman dan hatinya terikat dengan ajaran agama Islam yang dianutnya HARUS HATI-HATI JANGAN SAMPAI MEMILIH CAPRES DAN CALEG yang tidak beriman, tidak bertakwa, tidak jujur (siddiq), tidak terpercaya (amanah), tidak aktif dan tidak aspiratif (tabligh), tidak mempunyai kemampuan (fathonah), dan tidak memperjuangan kepentingan umat Islam.

Kiranya tepat sekali dasar penetapan poin ini merujuk kepada hadits Nabi saw:

“Dari Abdullah bin Amr bin ‘Auf al-Muzani, dari ayahnya, dari kakeknya, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda:“Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin, kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram”. (HR At-Tirmidzi).

Artinya, umat Islam harus waspada terhadap caleg-caleg maupun capres-capres yang disinyalir akan melahirkan undang-undang dan peraturan-peraturan yang mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah SWT dan menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah SWT. Yakni, caleg-caleg sekuler yang abai bahkan menentang diformalisasikannya syariat Allah SWT sebagai konstitusi, undang-undang, dan hukum yang berlaku di negeri ini.

Dengan demikian tegaslah bahwa Fatwa MUI tentang memilih dalam Pemilu itu adalah : (1) WAJIB BAGI SETIAP MUSLIM MEMILIH CAPRES DAN CALEG YANG: beriman dan bertaqwa, jujur, terpercaya, aktif dan aspiratif, mempunyai kemampuan, dan memperjuangkan kepentingan umat Islam. (2) HARAM BAGI SETIAP MUSLIM MEMILIH CAPRES DAN CALEG YANG: tidak beriman, tidak bertakwa, tidak jujur (siddiq), tidak terpercaya (amanah), tidak aktif dan tidak aspiratif (tabligh), tidak mempunyai kemampuan (fathonah), dan tidak memperjuangan kepentingan umat Islam.

Fatwa tersebut selain mengikat umat Islam dalam memilih, juga mengikat para capres dan caleg muslim agar menyesuaikan dirinya dengan kriteria tersebut bila ingin dipilih oleh oleh umat Islam.

Terakhir, kami memberikan peringatan kepada kaum muslimin dan diri kami sendiri, dalam urusan memilih dan mengangkat pemimpin ini, janganlah kita termasuk orang yang berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang mukmin lantaran salah pilih atau memilih secara asal-asalan, atau memilih karena dorongan hawa nafsu dan tergoda bujuk rayu dengan sedikit urusan dunia. Renungkanlah sabda baginda Rasulullah saw.:

“Barangsiapa memilih seorang pemimpin padahal ia tahu ada orang lain yang lebih pantas untuk dijadikan pemimpin dan lebih faham terhadap kitab Allah dan sunnah RasulNya, maka ia telah menghianati Allah, RasulNya, dan semua orang beriman”. (HR. At-Thabrani). (mj/www.suara-islam.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar