Rabu, Januari 28, 2009

KH. M Al Khaththath : Haramkah Golput?

Monday, 26 January 2009

Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia III di Padangpanjang, Sumatera Barat, yang berlangsung sejak Jumat (24/1) hingga Senin (26/1) telah mengeluarkan fatwa haramnya golput dalam pemilu. Menurut Sekjen MUI Ichwan Sam, memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah) dan memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib. ”Jadi memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram,” tegas Ichwan.

Bila kita menyoroti amal dengan hukum syara’, yakni melihat hukumnya dengan timbangan halal haram, maka dalam hal ini harus dilihat dengan kaca mata hukum syara’ semata, tidak boleh menggunakan pertimbangan-pertimbangan lain. Sebab, hak menghalalkan dan mengharamkan benda (asyaa’) atau perbuatan (af’aal) hanyalah hak Allah, bukan yang lain!. Dalam kasus permintaan fatwa tentang golput, apakah hukumnya halal atau haram, maka permintaan itu boleh. Tetapi memberikan pengarahan apalagi tekanan agar golput itu diharamkan, jelas ini tidak bisa dibenarkan. Oleh karena itu, bagaimanakah sesungguhnya memilih wakil rakyat dalam timbangan syara?

Hukum syar’i dalam ta’rif para ulama adalah khithab syaa’ri al amuta’alliq biaf’alil ibaad, yang artinya: seruan pembuat syara’ (Allah SWT) yang berkaitan dengan aktivitas manusia. Maka aktivitas memilih wakil rakyat bisa dikategorikan kepada aqad wakalah. Yakni ijab qabul antara rakyat pemilih (muwakkiil) dengan wakil rakyat (wakiil) yang sighat-nya adalah mewakilkan suatu amal kepada wakil rakyat (wakiil).

Dalam wakalah ini perlu diperhatikan amal apa yang akan dilakukan oleh wakil rakyat yang mewakili rakyat yang memilihnya?. Sebab hukum asal dari suatu wakalah adalah mubah. Namun amal dari wakalah itu menentukan halal haramnya suatu wakalah. Bilamana seseorang mewakilkan suatu amal pencurian kepada orang lain, maka wakalah seperti ini hukumnya haram. Sebaliknya, seseorang yang mewakilkan kepada orang lain untuk mengambil gajinya adalah halal.

Dalam masalah pemilihan wakil rakyat di kursi parlemen, amal yang diwakalahkan adalah amal membuat undang-undang (taqnin) dan melakukan pengawasan kepada penguasa (muhasabah). Dalam hal ini perlu dijelaskan kepada rakyat tentang status hukum syara’ dari amal wakil rakyat itu sehingga rakyat bisa memberikan wakalah kepada mereka dengan kesadaran hukum Islam.

Dalam pandangan Islam, membuat undang-undang (taqnin) yang diberlakukan kepada rakyat dalam proses pemerintahan hanya bisa dibenarkan bilamana hukum yang diundangkan itu adalah semata-mata hukum syariat Islam yang bersumber dari Al Quran dan As Sunnah. Pembuatan UU dengan rujukan selain dari hukum syara’ adalah haram hukumnya. Sebab tindakan itu bisa terkategorikan melanggar hak Allah SWT dalam membuat hukum.

Allah SWT berfirman:

menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang Sebenarnya dan dia pemberi Keputusan yang paling baik”. (QS. AL An’am 57).

Juga Firman Allah SWT:

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta ‘ini halal dan ini haram’, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (QS. an-Nahl [16]: 116)

Sehingga dalam hal pembuatan perundangan, baik wakil rakyat maupun pemerintah, dibatasi hanya wajib mengadopsi dari hukum syara’ maupun hasil-hasil ijtihad yang digali (istinbath) dari dalil-dalil syar’i. Membuat perundangan dengan merujuk kepada system hukum dan perundangan selain Islam (baik dari system Kapitalis Barat maupun system Sosialis Komunis) bagi kaum muslimin haram hukumnya.

Sedangkan amal mengawasi pemerintah (muhasabatul hukkam) dengan standar hukum syara’ adalah hak sekaligus merupakan kewajiban rakyat yang bisa dilaksanakan langsung atau melalui wakil rakyat.

Dengan demikian bilamana rakyat memilih wakil rakyat yang akan melaksanakan amal mengadopsi hukum-hukum syara’ sebagai UU dan mengawasi kebijakan pemerintah dengan pedoman halal-haram dalam pandangan Islam, maka memilih wakil yang bisa dipercaya untuk mengemban tugas-tugas tersebut hukumnya halal.

Sebaliknya, memilih wakil rakyat yang akan mengadopsi hukum-hukum selain Islam sebagai UU dan mengawasi kebijakan pemerintah tidak dengan timbangan syara’, apalagi secara nyata menolak penerapan syariah oleh negara dan bertekad melestarikan system negara dan pemerintahan sekuler, maka memilih wakil rakyat seperti ini jelas hukumnya haram bagi setiap muslim. Na’udzubillahi mindzalik!

Kini jelaslah halal-haramnya hukum memilih wakil rakyat dalam pemilu. Sekarang tinggal kita lihat bagaimana calon-calon wakil rakyat, apakah masuk dalam criteria halal dipilih atau justru haram dipilih. Ibarat akad nikah, sebelum diijab oleh calon mertua, seorang lelaki harus melamar terlebih dahulu. Calon mantu yang tidak layak tentu tidak akan diserahi (ijab) dalam majelis akad nikah.

Oleh karena itu, kampanye para calon wakil rakyat di daerah pemilihan masing-masing harus dilihat secara teliti oleh rakyat sehingga rakyat bisa memilih wakilnya sesuai criteria hukum syariat Islam yang telah diterangkan di atas, bukan sekedar criteria versi MUI yang masih sangat umum tersebut. Sebagai waratsatul anbiya, hendaknya para ulama tidak perlu sungkan dan ragu berbenturan dengan penguasa atau kekuatan politik manapun dalam menerangkan system pemerintahan menurut Islam secara gamblang agar menjadi pedoman rakyat dan penguasa yang mayoritas muslim ini.

Memilih wakil rakyat yang bisa dipercaya (terbukti dalam program-program kampanye syariahnya dalam berbagai bidang kehidupan) akan memperjuangkan adopsi syariah secara kaffah menjadi UU dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara adalah harga mati buat setiap umat Islam. Namun bila tidak ada yang layak, umat harus menahan diri dari memilih yang haram, dan harus berjuang untuk mengangkat mereka yang layak sekalipun tidak tercatat sebagai calon dalam permainan yang ada! Baarakallah lii walakum (MAK)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar